PEMIMPIN MUDA DAN CERDAS


ASHHABUL YAMIN
 

PENDAHULUAN


Kami awali ini dengan niat baik. Perkara kecil dimata manusia, namun dengan niat yang baik, maka akan menjadi bermakna dan mulia disisi Allah Tuhan Yang Maha Esa. Perkara besar dimata manusia, namun dengan niat yang salah, maka akan menjadi kecil dan tidak bermakna disisi Allah Tuhan Yang Maha Esa.

“Pemimpin Muda dan Cerdas” sebuah tema yang sangat lugas. Mengirim pesan yang penuh harapan kepada anda yang saat ini sedang merindukan peningkatan kualitas hidup.
Sudah sekian banyak contoh dan terlalu banyak bukti di mana pemimpin muda dan cerdas mampu memberikan harapan terhadap peningkatan kualitas hidup yang sudah sejak lama dirindukan oleh rakyat.

Sebut saja Bapak Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat yang lebih populer dengan sapaan Tuan Guru Bajang (TGB). Bagaimana kecerdasan beliau memaksimalkan potensi yang sudah sejak sekian lama terpendam di NTB – yakni sektor pariwisata dengan kebijakan beliau “Visit Lombok Sumbawa (VLS) 2012”, Wisata Halal, untuk pertama kalinya NTB memilki bandar udara bertaraf Internasinal (BIL), untuk pertama kalinya juga NTB memiliki Masjid Islamic Center. Kebijakan-kebijakan beliau sangat populer dengan kalimat “Ikhtiarkan” yang mencerminkan kecerdasan, luasnya wawasan, dan tingginya ilmu agama yang beliau miliki untuk kemudian beliau transfromasikan dalam bentuk eksekusi terhadap formulasi dan solusi bagi masalah yang dihadapi oleh masyarakat NTB.

Mari kita lihat juga prestasi pemimpin muda dan cerdas lainnya. Ada Walikota Bandung Bapak Ridwan Kamil yang populer dengan kecerdasannya merangkul dan memberdayakan komunitas anak-anak muda kreatif sebagai ikhitiar untuk mempercantik taman-taman di kota kembang tersebut. Alhasil lihatlah Bandung hari ini, warga mereka begitu dimanjakan oleh keindahan taman-taman yang menjadi alternatif mereka berakhir pekan bersama keluarga. Adapula Walikota Surabaya Ibu Risma yang juga merangkul dan memberdayakan Mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Surabaya untuk menciptakan aplikasi-aplikasi yang memudahkan pengawasan terhadap pelayanan publik di Kota Surabaya. Ada juga Bupati Batang, Bapak Yoyok yang juga merangkul anak-anak muda disetiap kebijakannya. Beliau sangat sadar dan peduli bahwa regenerasi adalah sebuah keniscayaan. Tongkat estafet pemerintahan harus terus berjalan secara berkesinambungan kepada generasi-generai berikutnya. Dan itulah yang membuat beliau banyak memberdaykan anak-anak muda. Dan banyak lagi contoh yang lainnya yang tidak bisa semuanya kami sampaikan disini.

Mereka adalah sederet pemimpin muda dan cerdas yang sudah memberikan bukti dengan prestasi mereka hari ini yang tentu saja sudah memberikan manfaat untuk rakyat.
Tulisan ini kami gagas dengan pendekatan religius nasionalis yang isinya banyak mengupas pada tataran praktis, kritis, dan idealis.

Pada tataran praktis, ada beberapa isu yang akan kami angkat terkait kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh beberapa contoh pemangku kepentingan pada level tertentu (Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan, Kabupaten, dst). Pada tataran kritis, kami mencoba mengkritisi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dari level terendah (Pemerintah Desa, dst). Pada tataran idealis, kami mencoba memberikan ide dan gagasan yang semoga juga mampu memberikan masukan dan dijadikan sebagai referensi oleh para pemimpin.

Teriring do’a semoga tulisan ini mendapat ridho dari Allah Tuhan Yang Maha Esa, dan mampu memberikan manfaat untuk ummat. Amin Ya Rabbal’alamin.





PEMBAHASAN

Memimpin diri
Manusia adalah pemimpin. Hakikatnya manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Bagaimana mereka memimpin anggota tubuhnya seperti mata, telinga, hidung, tangan, kaki, mulut, dan anggota tubuh lainnya. Keseluruhannya berada pada satu komando kita yakni “diri”.    

Ya, semuanya berawal dari diri kita sendiri. Apa yang kita ucapkan, dan apa yang kita lakukan hendaknya seiring, sejalan, dan seirama. Ketika mulut berucap, maka anggota tubuh yang lain harus mendukung, tangan dan kaki siap untuk mengeksekusi. Soliditas dalam team tergambar dengan jelas dan lugas dari bagaimana anggota-anggota tubuh kita ini berkoordinasi satu sama lain. Jika satu saja sakit, maka anggota tubuh yang lainnpun juga ikut merasakan. Inilah yang kita kenal dengan istilah “system.”

Lantas seperti apa kriteria pemimpin diri yang ideal. Berikut akan kami kupas beberapa kriterianya :
1)    Mampu menjaga anggota tubuhnya agar tidak terganggu fungsinya.

Ini bagian dari ikhtiar dan sekaligus untuk mensyukuri nikmat yang maha kuasa. Langkah selanjutnya tentu bertawakkal. Bagaimana mungkin dikatakan pemimpin diri sejati jika ia tidak mampu menjaga yang dipimpinnya (anggota tubuh) dari hal-hal yang dapat mengganggu bahkan merusak fungsi dari anggota tubuh tersebut. Bagaimana mungkin fungsi pernafasan tidak terganggu kalau setiap hari di semprot nikotin dari rokok yang ia hisap. Fungsi pernafasan terganggu, bau mulut membuat lawan bicara menjadi terganggu.

Pemimpin harus sehat jasmani dan rohani. Konkritnya minimal ia bukanlah perokok aktif. Bukankah seorang pemimpin memiliki mobilitas tinggi dalam melaksanakan tugasnya? Bukankah seorang pemimpin bertemu, berkomunikasi dengan banyak orang setiap harinya. Lantas bagaimana jika ia malah sesak nafas? Dan bagaimana jika ia malah memiliki aroma nafas yang tidak sedap? Silahkan saudara jawab sendiri dengan logika sederhana yang saudara miliki.

Pemimpin harus sehat jasmani dan rohani. Agar kemudian dapat mengemban amanah dengan baik. Bukankah kesehatan inilah yang juga dipersyaratkan dalam pilkada maupun pilpres di republik ini. Jika tidak lulus pada tes kesehatan, maka tidak akan memenuhi syarat untuk berlanjut ke fase berikutnya.

Sungguh, begitu miris hati ini menyaksikan di media beberapa kepala daerah maupun anggota lagislatif yang tertangkap tangan sedang berpesta narkoba. Beginikah cerminan pemimpin yang mengemban amanah berat itu? Ini fakta, kita pun hanya bisa mengelus dada. Marilah kita berfikir jernih, apa iya pemimpin yang merusak tubuhnya dengan mengkonsumsi narkoba bisa memimpin orang sedesa, sekabupaten, atau bahkan seprovinsi. Marilah kita jawab jujur wahai saudaraku.

Pemimpin sejati adalah pemimpin yang mampu memimpin diri terlebih dahulu. Menjaga anggota tubuhnya, mata, telinga, hidung, paru-paru, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnnya yang ia miliki senantiasa ia jaga dalam nuansa kesyukuran, agar tidak terganggu fungsinya, agar kemudian maksimal ia berdayakan untuk bersyukur, mengabdikan diri kepada sang Pencipta, dan berkontribusi bagi sesama.

2)    Memberdayakan anggota tubuhnya untuk mengabdi kepada Penciptanya Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa

Inipun adalah wujud syukur seorang hamba kepada dzat yang telah menciptakannya. “Hanya kepada-Nya kami menyembah dan hanya hanya kepada-Nya kami memohon pertolongan” (QS. Alfatihah: 5). Tidak bisa tidak, ini adalah komitmen dan janji seorang hamba yang sudah dikaruniai tubuh yang sempurna. Bahkan dikatakan mahluk yang paling sempurna dimuka bumi. “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At tin : 4).

Jika saja kita berfikir jernih, maka tidak ada alasan lagi untuk kita lalai terhadap panggilannya. Bila sekali shalat, sejak wudhu hingga selesai zikir kita membutuhkan waktu 15-20 menit, maka dalam sehari semalam waktu kita hanya diminta sekitar 75-100 menit. Artinya, sekitar 1,5 jam sampai 2 jam saja. Sedangkan waktu kita yang tersedia 24 jam. Sisanya yang 22 jam bisa kita manfaatkan sesuai keinginan kita.

22 jam itu seringkali sebagian orang menganggapnya masih kurang, sehingga waktu shalat berjamaah yang diminta oleh Allah SWT tidak dipenuhinya. Ada yang menunda-nundanya karena pekerjaan yang masih nanggung, bahkan adapula yang menundanya dengan sengaja seolah-olah telinganya mendengar azan, tapi sebenarnya telinganya telah tertutup. Ini terbukti, saat azan berkumandang dengan tanpa merasa berdosa sedikipun ia dengan santainya duduk dipinggir jalan sambil menghisap rokoknya, dan lain sebagainya. Ketika diajak oleh saudaranya untuk shalat, dengan santai pula ia menjawab “kita mencarikan untuk diri sendiri” naudzubillah.

3)    Memberdayakan anggota tubuhnya untuk kebaikan diri, keluarga, dan masyarakat

Belakangan kita sering mendengar keluhan dari pemerintah desa, bahkan pemerintah kecamatan – betapa semangat gotong royong sudah memudar dalam masyarakat. Tidak jarang juga kita jumpai bentuk gotong royong yang sudah bermetamorfosa menjadi bentuk uang yang diberikan kepada pekerja-pekerja yang kemudian diberikan upah. Memang positif untuk membuka lapangan pekerjaan musiman baru, namun budaya individualis perlahan menghampiri masyarakat di desa sekalipun.

Efek yang berikutnya muncul adalah silaturrahmi yang nyaris saja tidak memiliki jati diripun juga mulai terancam. Padahal jika kita kaji dengan cermat, semua bentuk program maupun tugas pembantuan yang diberikan kepada pemerintah desa hampir semuanya berprinsip partisipasi dan keterlibatan masyarakat. Jadi sebisa mungkin seyogyanya pemimpin di desa mampu merangkul semua pihak untuk bergotong royong berpartisipasi dalam membangun desa. Kitapun sebagai masyarakat harus memiliki kesadaran yang kuat tentang teguhnya semangat gotong royong dan kebersamaan dalam membangun desa.

Ada beberapa orang yang mengatakan “pekerjaan saya banyak, saya sangat sibuk, jadi tidak bisa ikut gotong royong, jum’at bersih, dan seterusnya.” Yang jadi pertanyaan kemudian adalah, adakah diantara kita yang tidak sibuk? Jawabannya tentu saja hampir kita semua memiliki kesibukan. Selama kita masih hidup maka kesibukan itu akan selalu ada, karena hakikat dunia ini adalah untuk bekerja, bukan untuk menuai hasil. Jika ingin menuai hasil, maka di akhiratlah tempatnya.

Suatu hari saya pernah berdiskusi dengan seorang teman kerja. Dalam Al Qur’an di beberapa surah beberapa kali diulang peringatan bahwa “hidup ini hanyalah permainan dan senda gurau, (fiddun’ya lahwun wala’ibun).” Jika diartikan secara bebas, maka ayat tersebut berarti segala sesuatu yang kita lakukan didunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Hanya bermain saja, dan hanya bersenda gurau saja. Namun bukan seperti itu makna yang sesungguhnya. Semua kebaikan yang kita lakukan didunia ini bernilai ibadah, dengan catatan dilakukan dengan niat dan cara yang benar. Menyingkiran duri dari tengah jalan juga ibadah. Membersihkan lingkungan sekitar juga ibadah. Memperbaiki saluran air bersih di mayarakat juga ibadah. Tentu dengan semua itu ada orang lain yang merasakan kebahagiaan dari hasil jerih payah kita. Ini semua tidak akan sia-sia tentunya.

Jadi, pemimpin sejati adalah mereka yang mampu berkontribusi dan berkarya untuk sesama dengan memberdayakan apa yang ia miliki seperti tangan, kaki, mata, telinga, hati, dan anggota tubuh lainnya yang tentu saja sudah terlebih dahulu berhasil ia pimpin dengan manajemen memimpin diri.



Pemimpin adalah Qudwah (Tauladan/ Contoh)


Sering kita temukan reputasi seseorang jatuh di masyarakat karna tidak sejalannya ucapan dan perbuatan. Bahkan untuk pendidikan anak kecil sekalipun tidak akan pernah berhasil jika seorang pendidik hanya berucap perintah kebaikan, namun tidak mencontohkan bagaimana kebaikan itu dilakukan.

Jika pada tahapan memimpin diri sudah mantap, maka tahapan berikutnya adalah memimpin keluarga. Barulah kemudian tahapan terakhir memimpin masyarakat.

Menjadi pemimpin sangatlah berat. Tidak semudah diucapkan. Memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Seperti yang telah kami sampaikan pada bagian sebelumnya, bagaimana mungkin sesorang berhasil memimpin keluarganya, jika memimpin dirinya saja ia tidak sanggup – selalu keteteran dengan malasnya kaki melangkah kemasjid untuk shalat berjamaah, keringnya mulut karena tidak dihiasi dengan zikrullah, dan kurang responsifnya telinga mendengarkan tilawah. Ini bukan perkara sederhana. Namun memerlukan keteguhan dan istiqomahnya jiwa dalam kebaikan.

Hal yang nyaris tidak mungkin adalah ketika seorang pemimpin hanya memberikan perintah, namun tidak memberikan contoh. Alkisah Abu Nawas yang memberdayakan pengemis dengan cara yang sangat unik.

Pada suatu hari Abu Nawas dikunjungi oleh seorang pengemis laki-laki. Pengemis itu meminta makanan karena sudah lama tidak makan. Namun, Abu Nawas tidak memberikan sesuap nasi atau makanan apapun. Akan tetapi ia malah mengajukan beberapa pertanyaan. “Kenapa engkau mengemis? Apa engkau tidak mempunyai pekerjaan?” tanya Abu Nawas. “Maaf tuan, saya sudah lama mencari pekerjaan, tapi belum juga ada yang menerima saya bekerja,” jawab pengemis itu. “Lalu apa engkau mau bekerja sekalipun pekerjaan itu berat?” tanya Abu Nawas. “Asalkan halal, saya mau Tuan,” jawab si pengemis. Akhirnya Abu Nawas mengantarkan pengemis itu menemui sahabatnya, Abu Wardah. Singkat cerita, pengemis itu diminta bekerja untuk mencabut rumput. Ternyata, pengemis itu merupakan seorang pekerja yang sangat rajin dan tangkas. Dalam waktu singkat saja, pekerjaannya pun selesai. Abu Wardah pun sangat kagum dan tergerak hatinya untuk memberikan pekerjaan yang lebih bagus dan serius. Ia pun meminta pengemis itu untuk memisahkan satu ember kurma menjadi 3 (tiga) bagian. Yang bagus diletakkan dikeranjang pertama, sementara yang lumayan bagus diletakkan di keranjang kedua, dan kurma yan jelek diletakkan dikeranjang ketiga. Namun ia lupa tidak memberikan penjelasan kepada pengemis itu tentang perbedaan antara yang baik dan jelek. Pada keesokan harinya Abu Nawas datang ke rumah Abu Wardah untuk menanyakan kabar dari pengemis itu. Ia pun menjelaskan bahwa pengemis itu sangat rajin dan terampil mencabut rumput di ladang sehingga dirinya menyimpulkan bahwa pengemis itu adalah pekerja yang baik. Maka dari itu Abu Wardah memberikan pekerjaan yang lebih serius kepadanya. “Sekarang dia bekerja apa?” tanya Abu Nawas. “Tadi malam dia saya suruh untuk memisahkan kurma-kurma menjadi 3 (tiga) bagian. “Mari kita kesana untuk melihatnya, tentu sudah selsesai pekerjaannya itu,” kata Abu Wardah. Tak lama kemudian keduanya pun sangat terkejut ketika melihat pengemis itu tidur pulas, tidak mengerjakan pekerjaan yang telah diberikan kepadanya. Dengan penuh tanya, Abu Wardah pun membangunkan pengemis itu. “Kenapa engkau tidak menyelesaikan pekerjaanmu yang sangat mudah itu,” tanya Abu Wardah. “Maaf tuan, kalau hanya memindahkan kurma, sesungguhnya itu sangat mudah, yang sulit adalah membuat keputuasn mana kurma yang baik, lumayan baik, dan jelek, karena saya tidak diberitahu sebelumnya,” jawab pengemis itu. “Sungguh itu tak terpikirkan olehku,” kata Abu Wardah. Abu nawas pun tersenyum melihat kejadian itu.
Begitulah, dari kisah di atas setidaknya para pemimpin bisa mengambil 2 (dua) pelajaran sekaligus. Yang pertama bagaimana cara mengentaskan kemiskinan dengan memberdayakan masyarakat miskin. Meberikannya pekerjaan, agar kemudian ia mendapatkan hasil dari pekerjaan tersebut dan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Yang kedua, tentu hendaknya memberikan contoh bagaimana caranya menentukan keputusan yang harus di ambil oleh yang dipimpinnya dalam melaksanakan tugasnya.

Dalam tata urutan peraturan perundangan di negara kita, Undang-undang berada di atas Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah itu berisi hal-hal teknis untuk melaksankan amanat dalam Undang-undang. Dalam prakteknya, 1 (satu) Undang-undang kadang-kadang memiliki sampai puluhan peraturan teknis dibawahnya. Berarti lebih banyak hal teknis daripada perintah. Hal ini bermakna harus lebih banyak qudwah (tauladan/ contoh) dari pada perintah. Kira-kira begitulah kondisi idealnya dalam praktek penyelenggaraan ketatanegaraan kita Republik Indonesia tercinta.



Habituasi (Pembiasaan)

Berkesinambungan, berkelanjutan, dan sustainable – kira-kira begitulah tujuan semua program pemerintah dari pusat sampai daerah. Jelas saja ini pula yang diharapkan oleh masyarakat manfaat dari program-program tersebut. Inilah yang menjadi masalah belakangan ini, di mana program atau kebijakan pemerintah menjadi stagnan dan tidak berkelanjutan. beda pemerintahan, beda juga program. Ganti pemerintahan, ganti juga kebijakan. Lantas kapan permasalahan itu akan selesai sampai ke akar rumput.

Pembiasaan adalah proses sekaligus hasil. Kunci keberhasilan adalah istiqomah. Inilah yang paling berat. Yakin saja, apapun yang kita kerjakan, jika tetap, berkelanjutan, dan istiqomah, maka akan sampailah kita pada keberhasilan itu.

Pembiasaan adalah revolusi mental. Tadinya cuek dengan sampah yang ada didepannya, sekrang peduli dengan memungut dan membuangnya pada tempatnya. Lagi saya katakan harus dimulai dari diri sendiri dulu. Lagi saya katakan harus memberikan qudwah dulu. Dibiasakan, hingga menjadi terpola, dan membudayalah kebaikan itu.

Kebiasaan yang baik adalah warisan pembangunan yang juga sangat berharga bagi generasi berikutnya. Siapa pun pemimpinnya, jika jam 7.00 sudah menjadi kebiasaan masuk kantor, maka akan tetap dan selalu seperti itu yang terjadi. Orang birokarasi selalu bilang “mari bangun sistem yang baik,” nah pembiasaan itulah hal paling pertama yang dilakukan oleh para pemimpin untuk membangun sistem yang baik itu.

Pembiasaan ini tampaknya memerlukan mobilitas dan energi yang sangat tinggi. Seorang pemimpin harus energik dan bermobiltas tinggi tentunya. Bisa dibayangkan jika pemimpinnya tidak sehat dan tidak energik. Mungkin tidak berlebihan jika kami sampaikan hanya pemimpin muda dan cerdas yang bisa melakukan ini. 



Seni Leadership di Pulau Seribu Masjid

Pertama kali tiba di Madinah, yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah membangun masjid. Masjid yang didirikan oleh beliau dijadikan sebagai sarana pemersatu ummat. Shaf-shaf shlat yang panjang dan teratur rapi akan membangun kebersamaan, solidaritas, keadilan dan kekompakan.

Masjid yang dibangun oleh Rasululloh SAW bukan untuk bermegah-megahan—tapi memang beliau niatkan sebagai sarana pemersatu ummat. Percuma saja jika kita membangun masjid yang megah, namun tidak mendatanginya untuk shalat berjamaah. Percuma juga kita merayakan Maulid yang mewah dan menghabiskan anggaran besar, namun kita tidak mengikuti sunnah Rasululloh SAW, yaitu shlat berjamaah dimasjid. Lantas untuk apa semua itu kita lakukan? Apa iya semua itu kita lakukan hanya untuk bermegahan, hanya untuk berbangga-bangga agar mendapat pujian dari sesama.

Mari perbaiki dan luruskan niat. Perkara yang kecil dimata manusia namun dengan niat yang lurus dan benar akan menjadi besar dan mulia dimata Alloh, begitupula sebaliknya, perkara yang besar dimata manusia namun dengan niat yang yang salah akan menjadi kecil dimata Alloh, bahkan noncent.

Mari kita bersyukur hidup didaerah yang masjidnya sangat mudah kita jumpai disetiap desa bahkan disetiap dusun—sehingga jika kita berkendaraan dan melewati masjid sementara adzan dikumandangkan padanya—berhentilah sejenak, dirikanlah shalat padanya—sebab kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi berikutnya—syukur-syukur jika kita sampai tujuan dengan selamat.

Shalat berjamaah itu berat, terutama bagi mereka yang belum terbiasa. Terlebih jika merekan memiliki sifat kemunafikan dalam dairinya. Hal ini sudah dijelaskan oleh Alloh SWT dalam firmanNya, Al Qur’an surah an-Nisa ayat 42 yang artinya : “Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri denga malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikti sekali.” (an-Nisa: 42)

Sering kita saksikan saat adzan berkumandang—rapat yang dilaksanakan dikantor-kantor, sekolah, perusahaan—tidak dihentikan dan terus berjalan—bahkan mendekati waktu shalat berikutnya. Padahal waktu yang dibutuhkan hanya sekita 15-20 menit saja untuk menghentikannya dan melaksanakan shalat berjamaah.
Shalat berjamaah adalah wujud nyata dari team work yang solid dan kuat. Even organizer (EO) yang terbentuk dalam waktu yang sangat singkat—bahkan tersingkat didunia. Ada petugas azan (muazzin) yang memanggil dengan satu komando—disemua masjid diseluruh dunia komandonya sama, bahasanya sama, dan lafdaznyapun juga sama.
Para jamaah berbodong-bondong mendatangi panggilan tersebut. Mulailah mereka bersuci (berwudhu), kemudian pemanasan (shalat sunnah), dan tibalah saatnya Iqamat—lalu semua bergegas berdiri mengisi shaf-shaf yang fasilitasnya sama. Tidak ada yang mendapat fasilitas khusus apapun jabatannya. Mereka meluruskan dan merapatkan shaf dibawah komando sang Imam. Kaki kiri bersentuhan dengan kaki kanan jamaah disebelahnya. Kaki kanan bersentuhan dengan kaki kiri jamaah disebelahnya. Sangat teguh, kuat, kompak, dan solid barisan itu. Saat sang Imam salah, jamaahpun boleh menegur dengan tatacara yang sudah ditentukan dengan elegan—namun tetap kemudian mengikuti Imam.

Inilah barisan yang terkuat dengan disiplin dan dedikasi tinggi. Jika ini bisa dilakukan oleh para pimpinan organisasi, kantor, sekolah, dan perusahaan, maka insyaallah team work yang kuat akan terbentuk. Secara pribadi saya sangat merindukan pemimpin yang seperti ini. Kagum rasanya hati ini mendengar sebuah organisasi atau perusahaannya yang menjadikan shalat berjamaah sebagai syarat untuk merekrut karyawannya.

Saat berbicang-bincang dengan salah seorang tenaga di Yayasan Server Indonesia terkait bagaimana rekrutmen tenaganya—ternyata mereka disyaratkan dengan shalat berjamaah. Lebih lanjut ia menjelaskan—“jika adzan sudah berkumandang apapun yang kami kerjakan dikantor—kami tinggalkan dan segera memenuhi panggilan adzan tersebut”. Subhanalloh, sebuah organisasi yang patut dicontoh oleh organisasi-organisasi lainnya.

Pribadi-pribadi yang kuat dan tangguh memang dibangun didalam masjid. Mereka siap melakukan apapun untuk membela agama Allah. Pilihan mereka hanya 2 (dua), mati syahid atau beroleh kemenangan dan kejayaan Islam. Kalau karakter semacam ini sudah tumbuh dan kuat dalam pribadi masing-masing jamaah, maka team work yang kuatpun akan terbentuk.  Semoga bermanfaat


 
Strategi penuh berkah di Pagi hari


Pagi hari adalah waktu yang sangat berkah. Sayang untuk dilewatkan waktu yang berkah ini. Bahkan dikatakan bahwa tidur pada waktu pagi (sebelum matahari terbit ) adalah salah satu penyebab kefakiran. Memanglah sangat disayangkan jika waktu pagi kita hilang  dan beralalu begitu saja. Keberkahan waktu pagi ini menjadikan waktu kita menjadi sangat produktif. Waktunya tidak terlalu panjang, namun banyak hak positif yang bisa dilakukan pada waktu tersebut.

Waktu dhuha (pagi) adalah waktu di mana orang-orang sedang dalam kesibukannya masing-masing. Oleh karena itu Allah berfirman dalam surah Ad-dhuha di mana Allah bersumpah “waddhuha” demi pagi. Jika sudah demikian, maka sudah tidak kita ragukan lagi betapa luar biasanya jika kita mampu memaksimalkan waktu dhuha ini shalat minimal dua rakaat.

Banyak juga orang yang beranggapan, shalat dhuha menyebabkan waktunya menjadi sempit. Padahal harusnya ini bisa di pikirkan dengan logika terbalik, yakni karena berdhuha maka waktu kita akan menjadi lapang.

Shalat dhuha bisa dijadikan ajang untuk rileksasi diri, menyiapkan diri dengan strategi bersyukur di pagi hari agar kemudian dalam tuntunannya ketika melaksanakan tugas kerja. Shalat dhuha adalah waktu untuk menenangkan diri sebelum menghadapi tugas kerja yang menumpuk. Bukankah ketenangan juga sangat mempengaruhi fokus dalam bekerja, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas kinerja.

Jika pimpinan bisa menjadikan shalat dhuha sebagai kebiasaan di kantor yang ia pimpin, maka insyaallah keberkahan akan meliputi karyawan beserta staf dalam kantor tersebut. Pekerjaan menjadi lancar, urisan menjadi mudah, dan keberkahan akan menjadi proses dan hasillnya, serta kesuksesan pun akan diraihnya.

Shalat dhuha sering dikenal dengan shalat rezeki. Bahkan seorang motivator pakar otak kanan Ippho Santosa pernah menyampaikan bahwa Dhuha adalah singkatan dari Do’a husus pengusaha. Terus terang saya pun tidak dengan pasti mengetahui apakah ini memang kebetulan atau bukan. 



Bersinergi untuk langkah yang hakiki


Suatu hari saya membaca motto di salah satu fasilitas kesehatan di Kecamatan Aikmel Lombok Timur, “SIP (Sinergi, Inovatif, Professional). Pertama membaca, hati ini pun langsung tergugah dan mampu memberi ibrah. Betapa motto tersebut begitu sederhana, namun mampu menggugah – dan dalam pengamatan kami di lapangan yang sering bersentuhan langsung dengan kegiatan fasilitas kesehatan tersebut, ternyata itu bukan sekdar motto yang tertulis indah di atas kertas, namun sudah teraplikasi dalam kegiatan-kegiatan yang real.

Pimpinan mereka benar-benar mampu membuat pihak lain secara ikhlas melaksanakan kegiatan yang mereka hajatkan. Cara mereka mengajak begitu santun hingga membuat pihak lain merasa tersanjung. Benarlah pribahasa yang mengatakan “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Saya tidak ingin sok tahu, namun dugaan saya inilah filosofi cara bekerja mereka.

Disinilah seni kepemimpinan itu terlihat, di mana seorang pemimpin mampu mengajak masyarakat, dan pihak-pihak terkait lainnya duduk bersama, bersilaturrahmi, berdiskusi atas permasalahan yang ada. Bukankah hasil dari pembangunan itu akan dirasakan oleh semua pihak juga, bukan pemimpin, atau sebagian pihak tertentu saja.

Rasanya akan sulit pembangunan menjadi lancar, jika seorang pemimpin tidak cakap bersinergi dengan semua pihak. Jika pun melihat regulasi yang ada, untuk seorang kepala desa, 75% waktunya kerjanya berada di luar, dan 25% berada di kantor. Lantas apa makna dari regulasi ini? Tentu saja dengan pikiran sederhana, kita akan menjawab bahwa seorang 

Kepala Desa harus lebih sering berada di luar kantor. Ingat ia adalah “Kepala Desa” bukan “Kepala Kantor”. Untuk urusan kantor kan sudah ada Sekretaris Desa yang tugasnya memang dihajatkan untuk administrasi dan kesekretariatan di kantor desa. Lebih lanjut lagi, ini bermakna kepala desa harus cakap melakukan silaturrahmi dan sinergi dengan semua pihak.

Begitulah potret sederhana seorang pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang memiliki kecakapan dalam membangun silaturrahmi dan sinergi dengan semua pihak.



Memberi solusi


Disinilah kecerdasan itu diperlukan. Pemimpin ya harus cerdas memberi solusi atas masalah yang dihadapi oleh masyarakat yang dipimpinnya. Ketika masyrakatnya bingung atas masalah sampah misalnya, pemimpin jangan juga ikut-ikutan bingung.

Jika kita mau jujur, regulasi yang sudah ada hampir sempruna sebagai acuan pemimpin dalam menetukan kebijakan memnerikan solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakatnya. Namun tidak jarang juga regulasi-regulasi yang ada tersebut kaku hingga tidak sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang terjadi dilapangan. Nah, disinilah kecerdasan pemimpin itu kita perlukan.

Satu contoh kasus, akhir-akhir ini masyarakat di desa sedang mengalami masalah sampah. Hampir semua desa mengangkat ini sebagai isu utama dalam pembahasan musyawarah perencanaan pembangunan di desa. Terkait sampah, yang terjadi hari ini di desa kami adalah di mana masyarakat tidak punya tempat pembuangan akhir yang legal. 

Pembuangan sampah di tempat yang secara turun-temurun dari beberapa generasi membuang sampah di tempat tersebut, padahal membuang sampah di sana menurut kami illegal karena merusak lingkungan. Ya, bagimana tidak merusak lingkungan, jika membuang sampah di pinggir daerah aliran sungai.

Atas permasalahan tersebut kemudian disampaikan kepada pemerintah desa. Wacana yang muncul adalah desa harus mengadakan lahan yang kemudian dijadikan tempat pembuangan akhir (TPA). Inilah yang menjadi momok kemdian, di mana desa tidak mampun mengadakan lahan oleh karena keterbatasan anggaran. Hingga disampaikan oleh pihak pemerintah desa, bahwa satu-satunya cara agar pengadaan lahan itu bisa terwujud adalah dengan mengajak masyarakat di desa berswadaya. Nah, disinilah pesimistis itu muncul dari mereka para pemangku kepentingan dan pemimpin di desa.

Saya pikir, kita semua sepakat bahwa mengajak masyarakat berswadaya lebih sulit dari pada mengajak masyarakat berswakarya. Disinilah kecerdasan seorang pemimpin diuji, bagaimana ia mampu merangkul semua pihak untuk berpartisipasi aktif terlibat dalam solusi atas masalah yang dihadap masyarakat desa. Jika ia gagal di sini, maka jujur saja saya pun tampaknya pesimistis pembangunan berbasis problem solving itu akan terwujud.

Pemimpin harus berfikir out of the box. Ia harus mampu berifkir di atas rata-rata. Ia harus kreatif. Ada banyak gagasan dan ide untuk dijadikan alternatif atas solusi. Terkait sampah, bukankah sampah itu bisa di ubah menjadi rupiah? Kenapa pemerintah desa tidak terpikirkan untuk merubah sampah itu menjadi rupiah? Saat ini desa di suntikkan dana dari pusat yang jumlahnya sangat fantastik. Tentu tidak ada jaminan, dana terebut akan terus menerus mengalir dalam jumlah yang banyak seperti itu. Desa harus mengambil momentum ini dengan sebisa mungkin berifkir ikhtiar untuk desa mandiri dan berdaya saing. Kenapa sampah itu tidak dikelola dengan baik melalui salah satu unit usaha yang tercover dalam Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Bisa saja dalam bentuk bank sampah.
jika masih minim ilmunya tentu saja bisa bermitra dulu dengan bank sampah yang sudah sukses berjalan. Desa bisa sebagai pemasok sampah plastik kepada bank sampah yang sudah berjalan – tentu akan ada keuntungan baik materi maupun wawasan tentang pengolahan sampah. Ketika kemitraan sudah masuk tahun kedua atau ketiga – kenapa tidak desa berupaya untuk mandiri dengan support dana desa bila perlu untuk pengadaan alat daur ulang yang kisaran harganya 70-75 jutaan. saya sangat berkeyakinan jika dikelola dan di manage dengan baik dan professional makan akan sangat baik bagi prospek menuju desa madiri secara ekonomi, dan sekaligus mencipatakan lingkungan desa yang bebas sampah plastik.

Beberapa waktu yang lalu kami pernah berkunjung ke Bank Sampah Bina Sejahtera yang berlokasi di Sengkol Tanak Awu Lombok Tengah. Sharing dengan Bapak Syawal SE selaku direkturnya – beliau menyampaikan siap bermitra dengan siapa saja dan siap pula membina mitra untuk mandiri melakukan pengolahan.

Pada kesempatan ini kami tidak akan menyebutkan secara spesifik permasalahan yang terjadi di atas terhadi di desa mana, yang jelas permasalahan tersebut terjadi di salah satu desa di pulau lombok Nusa Tenggara Barat. Sebagai dapat menjadi masukan bagi para penentu kebijakan di daerah ini.



Efektivitas evaluasi; Cinta butuh bukti


Mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah cinta yang hakiki. Cinta yang kemudian akan menyelematkan kita di dunia hingga akhirat. Hendaknya cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi cinta kita kepada selainnya. Saya berkeyakinan anda pun sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya. Jika saja saya hadir duduk disebelah anda saat ini, tentu akan saya lihat anda menggannguk-anggukkan kepala tanda setuju atas apa yang saya sampaikan ini.

Dengan mencintai Rasul-Nya tentu saja kita pun sudah di pastikan mencintai Allah, karena itu adalah perintah Allah. Begitupun sebaliknya, dengan mencintai Allah, tentu kita pun sudah bisa dikatakan mencintai Rasul-Nya karena itu adalah sunnahnya.

Jika kita mencintai seseorang di dunia ini, entah itu istri/ suami atau anak, tentu kita akan berupaya semaksimal mungkin untuk melakukan apa yang dilakukan oleh orang yang kita cintai tersebut.

Salah satu sunnah yang menjadi kebiasaan Rasulullah SAW adalah melaksanakan Puasa Senin-Kamis. Beliau bersabda : Rasulullah SAW bersabda yang artinya “Amal perbuatan itu diserahkan (dilaporkan) pada hari Senin dan Kamis, karena itu aku suka apabila amalku dilaporkan dalam keadaan berpuasa.” (HR. Muslim)

Sunnah Nabi SAW tersebut bisa dijadikan contoh oleh para pemimpin. Misalnya saja dengan mentransformasikannya menjadi waktu yang ideal untuk keperluan rapat terbatas. Bisa dibayangkan jika para organisasi perangkat daerah pada pemerintahan daerah atau para staf di pemerintah desa bisa melaksanakan rapat terbatas pada hari Senin dan Kamis, artinya ada 2 (dua) kali seminggu dalam keadaan berpuasa para staf melaporkan progres kegiatan kerja mereka.

Ini adalah rangkaian yang tidak terpisahkan – di mana hari Senin adalah hari pertama untuk memulai bekerja. Bisa saja hari Senin tersebut di manfaatkan untuk melaporkan progres kegiatan selama 4 (empat) hari yakni hari Kamis-Minggu. Adapun pada hari Kamis di sampaikan laporan progres kegiatan pada dari hari Senin-Rabu.

Puasa adalah prakondisi bagi para staf untuk bisa lebih mawas diri agar kemudian laporan yang dilaporkan menjadi jujur dan apa adanya, bukan dimanipulatif sedemikan rupa asalakan pimpinan senang. Jika ini dilakukan maka program kerja akan menjadi terarah dan terukur, serta insyaallah akan sesuai dengan yang direncanakan. Bukankah manusia hanya bisa berencana, namun rencana Allah lah yang akan menang. Dengan menjalankan sunnah kekasih Allah tersbut insyaallah rencana kita akan diridhai dan di mudahkan untuk pelaksanaan dan pencapaiannya.




PENUTUP


Sudah usanglah kita mendengar jika masih ada pemimpin yang kesehariannya dihabiskan hanya dibelakang meja. Hanya menunggu laporan dari bawahan, hanya memberikan perintah kepada bawahan, hanya bisa beretorika, dan hanya bisa berkata-kata tanpa memberikan arahan dan contoh yang jelas.

Pemimpin harus menjadi contoh yang baik, tidak hanya bagi bawahannya, namun juga bagi masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin harus mampu melakukan pembiasaan kepada bawahannya tentang pola-pola kerja yang dapat mewujudkan kinerja yang berkualitas meunuju kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin juga harus mempunyai seni leadership yang tinggi untuk membangun team yang solid dalam bekerja untuk kesejahteraan masyarakatnya. Pemimpin harus mau dan mampu bersinergi dengan semua pihak – merangkul semua pihak untuk bersama-sama bergotong royong menyukseskan pembangunan. Pemimpin juga harus cerdas memberikan solusi dan trobosan-trobosan yang mampu menjawab atas permasalahan yang dihadapi masyarakat.

Kehadiran pemimpin muda dan cerdas adalah jawaban dari permasalahan yang saat ini tengah dihadapai masyarakat. Pemimpin muda dan cerdas memiliki kecendrungan menjadi pemimpin yang memiliki mobilitas tinggi, seni leadership tinggi, sinergitas tinggi, dan mampu memberi solusi. Ia sanggup bekerja dengan dedikasi tinggi di tengah resiko tinggi sekalipun.


Sumber inspirasi :

fithramedia.blogspot.com
fadlan al ikhwani. Dahsyatnya 7 Sunnah. Saheh
Seiykh Muhammad Rabbe. Membangun keluarga Islam Idaman.Lembaga Ketahanan Keluarga Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HAKIKAT NKRI DAN TIPS MEMBINAN PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA

MENGINGAT MATI

RPP PPKn PERT 1-5 SEMESTER II KELAS XII (HAKIKAT NKRI)